Perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang pesat dewasa ini telah menggiring manusia kepada bidang keahlian
tertentu sebagai konsekuensi logis dari persaingan antar bidang ilmu yang telah
terspesialisasi sedemikian rupa. Seseorang tidak lagi bisa menjadi
generalis, karena ia telah dibatasi oleh sekat-sekat ilmu yang ditekuninya.
Lebih diperparah lagi jika seseorang tidak mampu lagi bahkan sekedar menengok
bidang-bidang lain yang bukan spesialisasinya, atau bidang ilmu yang ditekuni
itu tidak lagi dilandasi dan dijiwai, bahkan mungkin tak tersentuh sama sekali
oleh nilai-nilai moral universal (baca nilai-nilai agama). Selain itu pada
masyarakat modern terlihat kecenderungan berperilaku serba instan, praktis,
ingin serba cepat. Akibatnya keinginan serba cepat itu kadangkala menyebabkan
aturan dilanggar, nilai-nilai moral terabaikan, dan lain sebagainya. Sikap
manusia modern seperti ini telah digambarkan oleh Al-Qur’an dengan kata-kata al-’ajalah
(ketergesa-gesaan, serba instan), yang disebutkan dalam surat Al-Qiyamah ayat
20-21.
Sesungguhnya tidak salah keinginan serba
cepat dan tidak bertele-tele itu sepanjang tetap dalam koridor nilai-nilai dan
norma-norma moral. Ketepatan waktu, kedisiplinan, mau antre, tidak menyogok
untuk dapat didahulukan kepentingannya sendiri sementara orang lain
dibelakangkan, dan lain sebagainya. Sikap ingin serba cepat dalam setiap
persoalan ini memang merupakan salah satu karakteristik manusia, seperti
digambarkan dalam surat Al-Isra ayat 11 : ” .....dan adalah manusia diciptakan
selalu bersifat tergesa-gesa”. Pemberdayaan masyarakat untuk tetap memegang
nilai-nilai bukanlah suatu perkara mudah, tetapi harus dilakukan. Sebab, tanpa
memahami nilai-nilai itu maka mustahil seseorang mampu mempraktekkannya
dalam kehidupan. Disadari betul bahwa cara satu-satunya yang paling tepat
adalah melalui jalur pendidikan.
Nilai
merupakan realitas abstrak dalam diri manusia yang menjadi daya pendorong
terhadap sikap dan tingkah laku sehari-hari. Seseorang yang telah menghayati
nilai kejujuran sebagaimana dijarkan oleh Islam akan terdorong untuk bersikap
dan bertindak jujur kepada orang lain bahkan terhadap dirinya sendiri. Pendidikan nilai bertujuan untuk mengukir akhlak melalui
proses knowing the good, loving the good, and acting the good, yaitu
proses pendidikan yang
melibatkan aspek kognitif, emosi, dan fisik, sehingga akhlak mulia bisa terukir
menjadi habit of the mind, heart, and hands. Dalam pembinaan akhlak,
perhatian yang cukup besar hendaklah dberikan terhadap pendidikan akhlak
anak-anak. Masa kanak-kanak adalah mata rantai jiwa hewan dengan
jiwa manusia berakal. Pada jiwa anak berakhirlah ufuk hewani dan dimulailah
ufuk manusiawi. Karena itu anak-anak harus dididik dengan akhlak yang mulia.
Sedini mungkin anak-anak harus mendapat pendidikan akhlak mulia, sebab “kesan”
pada pendidikan dini inilah yang akan berakar kuat dalam kehidupan mereka di
masa yang akan datang.
Dalam hal ini peran ibu dalam pendidikan
akhlak sangat penting. Ibu adalah sekolah pertama bagi seorang anak (al-ummu
madrasatul ula). Masalahnya sekarang, tidak semua orang tua di rumah
memiliki waktu dan kesempatan untuk melakukannya. Demikian juga tidak semua
orang tua mampu memahami dan menerapkan teknik-teknik pendidikan akhlak secara
baik kepada anak sesuai dengan perbedaan usia dan perkembangan maturasinya.
Sekolah sebagai institusi pendidikan yang berperan
aktif menanamkan nilai-nilai kepada para peserta didik harus memberikan
perhatian yang serius terhadap pendidikan nilai ini. Penerapan
pendidikan nilai di sekolah harus melibatkan semua unsur yang terlibat di
sekolah itu. Iklim sekolah harus memberi peluang terjadinya interaksi positif
antara peserta didik dengan nilai-nilai yang akan diinternalisasikan, baik
melalui keteladanan personal, diskusi, maupun proses belajar mengajar dalam
arti seluas-luasnya. Komunikasi pendidik dengan peserta didik harus baik yang
didasari pada adanya penerimaan kedua belah pihak. Muatan komunikasi itu juga
penting agar mengarah kepada nilai-nilai yang diinginkan.
Pendidikan nilai harus ditanamkan kepada
peserta didik sebelum mereka mencapai usia akhir pembentukan kepribadian pada
usia 20 atau 21 tahun. Jika melewati batas ini, sudah amat sulit memasukkan
nilai-nilai karena harus membangun kembali kepribadian yang telah terbentuk (reconstruction
of personality). Oleh sebab itu nilai-nilai Islam dalam bentuk akhlak
al-karimah sudah terkristal dan terinternalisasi sejak kecil agar menjadi
sikap hidup yang tak memerlukan lagi pengawasan dari luar diri individu. Ada
atau tidak ada polisi akan berhenti otomatis bila lampu merah lalu lintas
menyala. Ada atau tidak ada orang yang melihat secara otomatis akan menjalankan
kewajibannya kepada Allah dan menjauhi larangan-Nya.
Apa yang gencar disosialisasikan
akhir-akhir ini dengan istilah kecerdasan emosional (emotional intelegence)
pada dasarnya adalah metode Al-Qur’an dalam menanamkan nilai-nilai akhlak
kepada manusia. Gerakan ketrampilan emosional yang diperkenalkan oleh Daniel
Goleman adalah mengubah istilah pendidikan afektif secara terbalik, yaitu bukan
menggunakan perasaan untuk mendidik, melainkan mendidik perasaan itu sendiri.
Di sinilah pendidikan nilai memegang peran penting karena mendidik perasaan
manusia agar peka terhadap nilai-nilai akhlak yang luhur untuk
diimplementasikan dalam kehidupan individu maupun kelompok. Wallahu
a’lam.
Pendekatan Pembelajaran
Nilai
PENDEKATAN atau model pembelajaran tradisional cenderung berasumsi bahwa siswa memiliki kebutuhan yang sama, dan belajar dengan
cara yang sama pada waktu yang sama, dalam ruang
kelas yang tenang, dengan kegiatan materi pelajaran yang terstruktur secara ketat dan didominasi
oleh guru. Padahal, pendekatan atau pembelajaran tradisional rasanya sukar untuk mencapai tujuan pendidikan.
Model pembelajaran tradisional yang sekarang banyak diterapkan, cenderung kurang memperhatikan kelangsungan pengalaman siswa yang diperoleh dalam kehidupan keluarganya. Hal seperti ini bertentangan
dengan karakter usia sekolah dasar.
Siswa sekolah dasar masih mendambakan berlangsungnya pengalaman di lingkungan keluarga dapat dialami pula di sekolah.
Selain itu, pengalaman mereka yang masih bersifat global menuntut diterapkannya model pembelajaran yang relevan dengan karakteristik mereka (Briggs dan Fotter, 1990; Rachman, 1999). Karakteristik siswa-siswa sekolah dasar adalah senang melakukan kegiatan manipulatif, ingin serba kongkret, dan terpadu.
Memperhatikan karakteristik siswa seperti itu,
maka pendekatan atau model pembelajaran yang diasumsikan cocok bagi siswa sekolah
dasar adalah model-model pembelajaran yang lebih didasarkan pada interaksi sosial dan pribadi (Joyce dan Weil,1992) atau
model interaksi dan transaksi. Pendekatan pembelajaran yang dapat dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip tersebut di atas diidentifikasikan sebagai berikut.
Pertama-tama libatkan siswa secara aktif dalam belajar, dasarkan pada perbedaan individu, kaitkan teori dengan praktik. Kembangkan komunikasi dan kerja sama
dalam belajar. Tingkatkan keberanian siswa dalam mengambil risiko dan belajar dari kesalahan. Tingkatkan
pembelajaran sambil berbuat dan bermain; dan sesuaikan pelajaran dengan taraf perkembangan kognitif yang masih pada taraf operasi kongkretnya.
Penyajian bahan atau
pokok-pokok bahasan yang diberikan kepada anak-anak usia sekolah dasar hendaknya
didasarkan pada prinsip dari mudah
ke sukar, dari sederhana ke rumit, dari yang bersifat kongkret ke abstrak,
menekankan pada lingkungan yang paling dekat dengan anak sampai
pada lingkungan kemasyarakatan yang lebih luas.
Teknik pengungkapan nilai adalah teknik yang memandang pendidikan moral dalam pengertian promoting
self-awarenes and self caring dan bukan mengatasi masalah moral yang membantu mengungkapkan moral yang dimiliki peserta didik tentang hal-hal tertentu. Pendekatannya dilakukan dengan cara membantu peserta
didik menemukan dan menilai/menguji nilai yang mereka miliki untuk mencapai
perasaan diri.
Model analisis nilai adalah model yang membantu peserta didik mempelajari pengambilan keputusan melalui proses langkah demi langkah
dengan cara yang sangat sistematis. Model ini akan memberi
makna bila dihadapkan pada upaya menangani isu-isu kebijakan yang kompleks.
Pengembangan kognitif moral adalah model yang membantu peserta didik berpikir
melalui pertentangan dengan cara yang lebih jelas dan
menyeluruh melalui tahapan-tahapan umum dari pertimbangan moral.
Tindakan sosial adalah model yang bertujuan meningkatkan keefektifan peserta didik mengungkap, meneliti, dan memecahkan masalah sosial. Terdapat empat hal penting yang perlu diperhatikan dalam menggunakan model pendidikan moral yaitu berfokus pada kehidupan,
penerimaan akan sesuatu, memerlukan refleksi lebih lanjut, dan harus
mengarah pada tujuan (Raths,1965).
Model-model tersebut melihat pendidikan moral sebagai upaya menumbuhkan kesadaran diri dan kepedulian diri, bukan pemecahan. Pada dasarnya
model pengungkapan nilai berakar pada dialog yang tujuannya bukan untuk mengenalkan nilai tertentu kepada peserta didik, tetapi untuk
membantu menggunakan dan menerapkan nilai dalam kehidupan.
(sut, berbagai
sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar